Saturday, February 11, 2012

Bela~

Hoi Hoi Hoi.. kenapa harus cerita cinta lagi yang gw tulisin disini ?
Baiklah, sebenarnya gw ga percaya cinta. Tapi ternyata cinta itu ada. Lo tau, cinta itu ada. Bahkan cinta itu tumbuh dan berkembang diantara gw dan Bela. Bela ? Lo kira gw lesbi ? Jangan sembarangan lo ? Gw timpuk juga ni pake sendal becek, maklum lagi musim hujan. Hehe.
Tapi emang ga ada salahnya cinta itu ada diantara sesama wanita, itu bentuk dari persahabatan yang erat. Kali ini gw ga pengen bahas wanita, Gw normal, booo.. Gw mau bahas tentang Bela.

~Hening sebentar, sembari ngambil kotak tisu

Alkisah di suatu tempat nun jauh disana (sebenenya si ga jauh, tapi karena ga ada ongkos kesana maka di bilang jauh aja. Hehe) hiduplah satu keluarga yang memiliki banyak kucing.

"Coba kau tebak, ada berapa kucing dirumah ini, Li ?"
Nek Ria tiba-tiba saja menepuk pundakku sambil bertanya seperti itu. Aku yang kaget cuma bisa diam dan menghitung jumlah kucing di depan mata.
"Sepuluh ekor kucing, nek."
Mataku berbinar-binar menanti deklarasi pembenaran dari Nek Ria.
"Tidak, Sayang. Kita bahkan mempunyai lebih dari selusin kucing di rumah ini."
"Kau lihat, si Maknyak saja yang paling tua sudah berapa tahun tinggal dirumah ini. Dia sudah berapa kali beranak. Apa kau lupa, anak si Maknyak yang masih hidup saja ada 4. 2 betina dan 2 jantan. Kau tentu yang paling riang saat kedua anak si Maknyak ternyata lagi bunting. Bukankah ke 2 anak Maknyak baru saja melahirkan kemarin ? Dan kau juga tau kalau si Maknyak sekarang sedang bunting besar. Berapa banyak lagikah kucing akan bertambah dirumah ini ? Nenek sungguh bahagia ditemani kucing-kucing ini di masa tua nek Ria yang tinggal sebentar lagi ini."

Aku mengatup mulutku rapat-rapat. Bukan tidak senang mendengarkan ucapan Nek Ria, bukan juga karena tidak suka memelihara kucing banyak-banyak seperti ini. Dulu sekali, aku masih ingat bagaimana kucing ini bisa menetap dan tinggal sampai sekian dekade di rumah mungil kami. Saat itu sudah sore, aku dan Kak Dyah, kakakku nomor 3 baru pulang dari sekolah. Aduh, rasanya saat itu aku bahkan belum sekolah. Aku masih suka bermain-main mengikuti langkah kaki kakakku yang sudah sekolah. Aku selalu menanti kepulangan kakakku di depan gank rumah. Saat aku berjalan bergandengan tangan dengan Kak Dyah, kami mendengar suara miauw kecil dari dekat kami. Aku yang masih kecil tentu sangat riang mendengar suara itu. Kami mulai mencari asal suara dan terus mencari. Sampai akhirnya kami mendapati kardus indomie yang tertutup tidak rapat sedang bergerak-gerak dan mengeluarkan suara miauw yang semakin kencang. Aku menarik baju Kak Dyah dan mengajak mundur. Dengan sedikit rasa takut, Kak Dyah melepaskan cengkaraman tanganku di baju seragamnya, lantas pelan-pelan membuka kardus itu. Aku berseru kencang.. Yaaay.. aku melihat 3 kucing lucu berbulu belang sedang bermain tanpa induknya. Aku mencoba menyentuhnya namun sebelum tanganku mengenai kucing itu, Wak Iwan keluar dari rumahnya. Oh tidak, mungkin bukan rumah, yang aku ingat banyak makanan yang aku suka di depan rumahnya itu, mungkin saja warung kecil di rumah Wak Iwan. Entah, aku sedikit lupa tentang detail cerita itu. Lagipula Wak Iwan sudah lama pindah dari sana.

Wak Iwan menyuruh kami mengambil 1 anak kucing itu, sepertinya anak kucing itu pun sudah bisa dipisahkan dari induknya. Anak kucing mana yang aku pilih ? Tentu saja si putih bersih. Aduh aku lupa nama si putih itu. Kejadian itu sudah lama sekali dan tidak lama setelah itu, Wak Iwan pindah bersama induk dan 2 anak kucing lainnya.

Kemudian sejak itu, si Putih hidup dengan manjanya di rumah kami. Putih melahirkan anak yang banyak, kau juga tau kucing jarang melahirkan 1 anak, seringkali 3 atau 4 anak. Putih melahirkan berkali-kali. Anak putih juga melahirkan berkali-kali. Anak-anaknya Putih juga melahirkan, jadilah rumah kami yang mungil di ramaikan oleh anak-anak kucing tersebut. Sungguh, awalnya aku sangat menyukai kucing-kucing tersebut. Mereka menegrti sekali kebersihan, Nek Ria yang suka kucing sudah mengajarkan mereka sejak kecil bagaimana mebuang kotoran. Nek Ria membuatkan kakus kecil untuk kucing-kucing itu. Sebuah tempat berbentuk baskom besar yang diisi dengan pasir. Setiap kucing yang ingin buang air sudah terbiasa melakukannya disana. Semua berjalan lancar tanpa masalah sampai rumah kami yang mungil mengalami renovasi. Tidak ada lagi rumah kayu nan asri, lapangan besar di sisi rumah dan kebun-kebun kecil di samping rumah. Sumur ditutupi sedikit demi sedikit. Rumah kami mengalami kemajuan seperti majunya jaman kala itu. Sumur tidak lagi di timbah, sudah memakai mesin air yang langsung memenuhi bak kamar mandi tanpa peluh mengalir di sekujur tubuh. Bunga-bunga di halaman dipindahkan. Kebun cabe masih ada namun sedikit. Bawang dan berbagai bumbu dapur pun sedikit tergusur demi renovasi rumah kecil kami. Ya, rumah kayu kecil kami sekarang sudah berubah menjadi rumah yang dibangun oleh semen. Tidak ada lagi, grasak-grusuk di bawah rumah kami saat penjahat mencoba menjahati kami, tidak ada lagi teriakan kucing-kucing yang mengetahui bahwa ada orang jahat dibawah rumah kami dan secara perlahan tidak ada lagi tempat buang air kucing dan kepatuhan kucing-kucing itu. Jangan kau tanya bagaimana si Putih, rasanya saat itu Putih telah tenang di surga dan menitipkan anak cucu nya di rumah kami yang baru.

Awalnya, anak cucu Putih masih sangat patuh. Nek Ria masih bisa mengajarkan mereka tentang bagaimana membuang kotoran, mereka melakukannya di kamar mandi. Tentu saja sebagai akibatnya, kami yang bangun pagi-pagi untuk mandi akan mencium bau tak sedap itu, menyiramnya sampai semua kotoran itu pergi jauh melewati lorong pembuangan air. Dan ketika malam tiba, ada saja kucing yang tidak berani masuk kamar mandi sendiri. Aku pernah mengalaminya sendiri, kaki ku ouwh.. kadang juga telingaku suka digigit kucing-kucing manis itu, membangunkanku bukan saat subuh datang saja, tapi saat mereka ingin ditemani ke kamar mandi. Sungguh. Saat itu aku sungguh menyanyangi mereka.

Namun perlahan mereka berubah, entah karena Nek Ria yang makin tua dan semakin jarang mengunjungi rumahku atau karena kami yang semakin sibuk dengan sekolah kami. Kau tau ? Kau harus tau. Kucing yang sangat aku sayangi, yang selalu bermain bersamaku saat teman-temanku tak datang atau saat Kak Dyah sibuk belajar. Kucing yang selalu aku dekap dan kujadikan sahabat terbaikku saat aku dimarahin Emak dan menahan isak. Kucing itu.. Yaa Bela. Kucing itu bernama Bela. Dia entah karena sengaja atau hanya mencari perhatian. Dia mengencingi buku matematikaku.

Seketika aku pukul Bela. Aku pukul lagi. Awalnya sejak kejadian itu, dia takut-takut mendekatiku, namun masih mau mendekatiku. Aku yang masih menyimpan dendam, memikirkan rencana jahat. Emak yang kewalahan mengurus kucing itu pun mendukungku. Sudah berapa kali Emak tidak suka kucing-kucing itu. Kau bayangkan, di rumah sempitku ada setidaknya 20 kucing yang susah di urus. Sejak Nek Ria jarang ke rumah, kucing-kucing itu mulai sembarangan saja buang air bahkan muntah di atas bangku kayu tamu kami. Oh memang seharusnya itu menjadi tugas aku, tetapi aku kan sekolah dan aku selalu mencari alasan untuk tidak mengurusi kucing yang semakin membandel itu. Jadilah Emak yang kalang kabut dengan semuanya.
Lalu hari ini, ide jahat itu mulai ku laksanakan. Siapkan karung ? Oh tidak. Bagaimanalah aku bisa tega memasukkan Bela ke dalam karung pengap tersebut. Masukkan ke dalam kotak ? Tidak. Aku punya ide yang lebih cerdas. Aku dan Bela sudah lama berteman, dia selalu mau aku gendong kemana saja. Jadilah aku gendong Bela sambil bermain dengannya. Terpaksa aku bermanis-manis bermain dengan kucing menyebalkan ini. Aku bawa dia berjalan cukup jauh. Sampai tiba di pasar aku lepaskan dia lalu ku usir dia jauh-jauh. Ku pukul badannya sekali lagi sambil teriak "Pergi sana, jangan lagi kau kencingin buku matematikaku".

Aku melangkah dengan cepat, setengah berlari agar Bela tak bisa mengejarku. Aku pulang dari arah yang lain karena ku tahu Bela kucing yang cerdas, dia bisa menghafal jalan. Hari demi hari berlalu. Ingatanku tentang Bela mulai terlupakan karena kesibukan sekolahku. Saat itu, aku masih kelas 1 SMP.

~Waktu terus berjalan
Hey.. kau tebak lah hari ini musim apa ? Duku ? Oh walaupun aku sangat menyukai duku, sayangnya sekarang lagi tidak musim duku. Ini musim mengaji, kawan. Sebenarnya sudah lama musim mengaji ini ada. Aku termasuk yang sudah lama bacaanya. Sayangnya, guru mengajiku pindah rumah. Jadilah aku mencari guru ngaji yang lain.
Kau lihat rumah sederhana itu ? Itu lah rumah guru ngaji baruku. Bersama Maya, aku memulai aktifitas baruku. Aku mengaji di pagi hari lalu diteruskan dengan bermain dengan cucu Wak Imah, guru ngajinya itu.

Aku semangat menuruni tangga kecil di depan rumah Wak Imah. Waktunya bermain. Aku sangat suka bermain. Tak perlulah aku memakai kerudung yang tak nyaman ini. Aku cukup berlari dan berlari. Haha. Mengingat ini membuat aku tak bisa berhenti tertawa. Alangkah lucunya aku saat aku masih belum mengerti pedihnya dunia. Kemudian..

"Meouw.. Meouw.."
Kucing dari rumah Ica memanggilku. Dengan santai aku dekati suara itu seraya Ica berjalan disampingku.
"Ini kucingku, La. Dia kucing datangan lalu kami pelihara. Cantik ya ?"
Aku tersentak menatap kucing itu dengan mata tajamnya.
"Bela ?" Aku bertanya dan langsung di jawab meouw olehnya.
"Ini Bela, Ca. Ini kucingku."
Lantas ku peluk Bela. Rasa rinduku memuncak. Rasa bersalahku tumbuh entah dari mana.
Ica cuma diam menatapku kemudian mengajakku bermain di rumahku saja. Mungkin saja alasannya karena dia tak suka aku berlama-lama memeluk kucing barunya.
Bela mengikutiku dari belakang. Dia sering datang kerumahku sejak hari itu. Ica semakin tidak suka padaku. Dia menyebarkan isu kalau aku mencuri kucingnya hingga kucingnya tak pulang-pulang ke rumah.
Aku tak terlalu menanggapinya, aku terlalu senang ketemu dengan Bela lagi. Aku lupa, mungkin sudah 2 bulan sejak kejadian aku membuangnya ke pasar. Tapi Bela tak pernah menyimpan dendam kepadaku. Aku saja yang terlalu membesar-besarkan masalah. Saat itu Bela memang lagi sakit. Aku saja yang tak mau mengerti kondisi Bela, kucing yang ternyata sangat aku sayangi itu.

Tapi kau tau, semua yang kau rasakan indah tak selamanya bisa kau jaga. Saat aku sedang tertawa dan bercanda bersama Bela. Saat Bela mulai betah di rumah kami lagi. Saat semuanya aku rasa baik-baik saja. Dan saat aku pikir, persahabatanku dengan Ica akan baik seperti semula. Saat itulah.. saat itulah tiba-tiba Emak berkata "Lian, kau kembalikanlah Bela ke rumah Ica. Tak baik kau memelihara kucing yang sudah jadi milik orang lain. Kau yang dulu membuangnya kan ? Kenapa juga sekarang kau rusak kebahagiaan Ica dengan kucing barunya ?"
"Tapi, Mak. Bela memang kucing kita."
Aku berkeras untuk mempertahankan Bela di rumah ini. Tak apa walau Bela harus bertengkar dengan kucing-kucing lain. Tak apa. Aku bisa menjaganya lebih baik daripada dulu.
"Lian, jangan keras kepala. Kau tak tau seberapa sayangnya Ica kepada Bela yang dinamainya Pus itu ? Kau bisa menjenguknya lain waktu. Kau bisa datang setiap hari ke rumah Ica. Jangan pernah kau sakiti hati kawan kau. Kawan kau lah yang suatu saat nanti membantu kau saat kau tak bisa berbuat apa-apa. Yakinlah, Lian sayang.. di rumah kitapun tak tanggung lagi. Ada 10 kucing yang harus kau jaga. Bukan cuma Bela."
Aku menyerapi kata-kata Emak. Memeluk Bela dengan erat. Memandangnya dengan tatapan kasih sayang. Lantas menyerah.
"Baiklah, Mak. Besok pagi-pagi Lian antarkan Bela ke rumah Ica." Aku menutup obrolan malam itu.

~Besok pagi
"Lian. Lian."
Saat aku hendak mengambil sapu untuk menyapu halaman, terdengar suara Ica memanggilku dari depan rumah. Langsung bergegas aku mencari Bela dan mengendongnya. Aku memang tak mengantarkan Bela tapi aku akan menyerahkan Bela langsung hari ini kepada Ica.
"Ca.. "
Aku gelagapan. Berusaha mencari kata yang tepat untuk memulai serah terima ini. Tapi Ica lebih cepat, Ica langsung mengambil pembicaraan.
"Lian. Aku kembalikan Pus eh maksudku Bela kepadamu. Dia memang kucing kau. Semalam Emak bercerita kalau Pus kucing datangan. Kami hanya memungutnya. Sudah jelas dia lebih suka tinggal di rumah kau. Haha.."
Ku pandang Ica sesaat, terlihat ada air mata di sudut matanya, menahan sedih atau bahkan menahan rasa untuk memiliki Bela lagi.
"Ca.. kau gendong lah Pus ini. Kau bawa dia kerumah kau. Nanti kalo dia pulang ke rumahku lagi, aku suruh dia pulang ke rumahmu. Aku sudah punya banyak kucing disini. Aku titip Bela di rumah kau, terserah kau saja mau kasih dia nama siapa saja. Aku rela, Ca."
Ku serahkan Bela dengan sedikit terpaksa. Tapi aku ingat aku lah yang dulu membuangnya, kenapa pula aku harus berkeras kalau aku pasti bisa menjaganya. Tak cukupkah semua kesalahan aku dulu ?
Bela mengeong pelan. Sepertinya dia tau apa yang sedang terjadi disini. Ku ambil lagi Bela. Ku biarkan dia berjalan-jalan sebentar ke dalam rumahku.
"Ca..nanti sore lah aku antarkan Bela, sepulang sekolah. Biarlah aku bermain sebentar dengannya."
"Haha.. tapi Bela kan kucing kau. Manalah tega aku mengambilnya, Lian."
"Kau tak usah sungkan, Ca. Yang penting kau jaga saja Pus kau itu. Janganlah sebut-sebut Bela lagi. Kau yang menamainya dengan Pus. Pus ya Pus. Jangan kau ganti-ganti lagi. Haha."
Sudah. Obrolan ini sudah selesai. Matahari mulai naik. Peluh di keningku mulai banyak. Emak sudah pulang dari pasar dan aku harus membantu Emak mengurusi belanjaannya sekaligus membantu memasak untuk makan siang.
Waktu terus berjalan, aku sudah tiba di sekolah. Hari mulai sore. Sesuai dengan janjiku, ku bawa Bela ke rumah Ica. Ku berikan Bela dengan air mata menggantung di sudut langit sore.
Ku serahkan. Pokoknya aku serahkan Bela. Aku sudah berjanji. Tetapi Bela mengikutiku lagi. Ku bentak dia lalu ku hush pelan hingga Bela diam dan mendekati Ica.
Maafkan, Bela. Aku tak bermaksud melakukan kesalahan yang sama. Aku cuma ingin kau punya bahagia di rumah Ica. Aku sudah tak becus menjagamu dulu. Aku tak mau terulang lagi.
Berhari-hari setelahnya, Bela masih suka datang ke rumahku. Tapi selalu aku usir walaupun aku masih sangat ingin memeliharanya. Ku keraskan hati. Biarlah. Bela kan sudah jadi milik Ica.
Setiap hari Ica mencari Bela ke rumahku. Lama tak terdengar. Mungkin sekitar semingguan, tiba-tiba Ica datang dengan menangis ke rumahku. Ica bilang Bela tak pulang-pulang ke rumah lagi. Aku terbelalak, langsung mencoba mencari ke sekeliling rumah dan sekelililing kampung tapi tak ketemu.
Bela. Bela. Bela. Kemana kau pergi, sayang ?
Kau tau kenangan ini selalu ada hingga hari ini ?
Rasa bersalah yang telah menelantarkanmu di pasar ?
Rasa tak kuasa melepasmu ke pelukan Ica ?
Aku merasa benar memberikanmu ke Ica. Ica sangat sayang padamu. Tapi kemana, Bela ? Kemana kau tinggalkan kami semua ?

"Lian."
Nek Ria menyentuh pundakku pelan. Aku menoleh dengan malas.
"Tak usahlah kau ingat-ingat Bela lagi. Lebih baik kau tidur. Hari sudah malam. Bela pasti sudah di surga sekarang."
Aku menutup mulut menguapku sekali lagi. Aku baru sadar sekarang sudah jam setengah tiga pagi. Entah apa yang ku pikirkan, tapi sudut mataku meninggalkan jejak basah. Yang aku tau, aku kangen Bela, aku teringat kenangan masa kecilku dulu.

"Sudah berapa tahun ya, Nek ? Akankah kucing di rumah ini selalu ramai seperti hari ini dan sebelumnya ?"
Nek Ria cuma tersenyum menatapku. Melambaikan tangan lalu masuk kamar dan mematikan lampu. Nek Ria pasti sudah mengantuk dan terlelap. Tinggal aku dengan kenanganku dan yang aku tahu, jawaban atas pertanyaanku tadi adalah Tidak.

==Jakarta, Minggu, 12 Febuary 2012 == 02:39 AM
Tikaa~
#True Story

No comments:

Post a Comment