Sunday, December 25, 2011

Moldane III

Aku tau aku bukanlah seorang pujangga yang pandai merangkai kata hingga enak dibaca. Bukan juga pengarang cerita hebat atau penulis dengan jejeran karya yang mampu membuat orang lain berdecak kagum, bangga, bahkan tanpa perintah berani mengadu kepada dunia kalau aku ini pantas mendapatkan tepuk tangan yang meriah. Tidak. Bukan itu yang kuharapkan disini. Aku hanya ingin membuat hati ini sedikit tenang diantara sekelumit cerita hidup dan menyesakkan jiwa. Membangun ceritaku sendiri dalam kenangan yang masih mampu ku ingat dan kujadikan cerita yang lebih indah. Bukankah apapun yang terjadi ga akan terlepas dari cerita kita meski kitapun mampu melupakan baris demi baris cerita masa lalu itu. Dan justru itu juga lah yang berperan penting dalam hidup kita, dalam rangkaian menuju kedewasaan kita.

Dewasa ? Rasanya kalimat itu ga cocok ditujukan untuk diriku yang selalu mengenang perihnya kehidupan, dimana aku selalu terisak setiap malam, memojokkan diri di sudut kamar dengan mata berurai tanpa bisa berbuat apa-apa, yang kemudian tertidur perlahan karena begitu capeknya dengan urusan dunia.

"Apa yang bisa ku lakukan ? Apa ?"
Aku selalu meneriaki diriki seperti itu ketika kedinginan hati itu menusukku lagi.
Aku selalu memasrahkan semuanya kepada yang namanya kesempatan. Menanti dan menanti tanpa berani membuat kedua tangan ini menciptakannya.
Aku terguguh saat malam mulai menyelimuti dunia. Membentangkan tangan lebar-lebar demi mencapai kehangatan yang ga akan pernah bintang dan bulan berikan.
Mana ada malam yang hangat. Aku bahkan ga berani  menyalakan lilin untuk sekedar menghangatkan tangan ini.
Aku menyenangi malam dimana aku bisa bersiul riuh rendah. Tapi kapan itu ? Aku bahkan melupakan satu demi satu kenangan itu. Semuanya seakan ga pernah tau kalau aku masih ada. Kemana mereka semua ? Kenapa selalu meninggalkan resah  hati seperti ini ?
Aku sering menyalahkan Tuhan atas kemalangan yang ku rasakan.
Kemalangan yang selalu aku lihat dengan mata kiriku, tanpa memperbolehkan mata kananku melihat kemalangan orang lain.
Aku ga pernah sadar, tangan kananku selalu mencoba menghapus air mataku. Tangan kiriku mencoba menguatkan hatiku.
Aku terlalu munafik. Aaaah..
"Prangg..."
Gelas yang sedari tadi menontonku tak urung menjadi luapan emosiku. Pecah.. hancur berkeping-keping karena lemparanku yang mengenai dinding kamar ini.
Aku selalu membunuh rasa sepiku dengan menghancurkan sesuatu biar ramai.
Aku selalu menutupi kesedihan yang aku sendiri ga mengerti apa yang aku sedihkan dengan melukiskan senyum manis kepada sahabat-sahabatku.
Entahlah. Aku mulai menarik nafas panjang.
Aku merasakan kristal-kristal bening mulai memaksa turun dari kedua bola mataku. Jatuh perlahan. Membasahi pipiku. Mengeluarkan kelegaan luar biasa diiringi isak tangisku.
Aku mengambil cermin yang terletak tak jauh dari tempatku duduk sekarang.
Melihat dengan jelas betapa malangnya aku dari pantulan cermin yang kupegang.
Gemuruh hujan mulai membasahi bumi setitik demi setitik. Menyembunyikan teriakan hatiku di  malam kelam ini.
Aku merasakan ada yang memegang pundakku. Tidak. Aku ga merasa takut sedikitpun. Kehadirannya menenangkanku. Dan apa aku ini sudah gila ???
Aku menggenggam lembut jemari yang merengkuhku itu. Hangat. Dia menghangatkan dinginnya suasana hatiku. Aku memberanikan diriku menoleh sedikit ke belakang. Berpendar indah dalam gaun warna merah menyala. Dia tersenyum lembut.
"Leon Fairy. Kamu masih ingat Leon kan ?"
Dia menyambut tatapanku dengan menyebutkan namanya.
Aku mundur ke belakang. Perlahan langkah demi langkah sambil menyiapkan teriakan kencang. Tapi Leon hanya tersenyum tenang yang membuat aku sedikit merasakan kenyamanan.
Leon mendekatiku dan aku..

***

No comments:

Post a Comment