Retna
Hehehe. Lagi-lagi aku cuma bisa nyengir kuda. Tiba-tiba sebuah buku mendarat di punggungku.
Bruk...
“Auw.. auw.. sakit, din.”
Dengan ngedumel dan tanpa rasa bersalah Dina langsung menyeretku dari sekitar musholah.
“Kamu sakit apa si, Ret? Perasaan dulu ga demen maen ke mushollah deh. Nemenin aku aja ogah. Lah ini nyengir-nyengir kuda gitu. Mending kalo gigi putih. Ini cuma mamerin cabe doank.”
Dan bla.. bla.. lain yang Dina lontarkan di sepanjang jalan menuju kelas.
Aku ga terlalu dengerin apa yang Dina bilang. Yang aku sadari sekarang udah jam 4. Dan aku udah sholat ashar. Aku udah berdoa agar bisa menjalani hariku dengan senyuman. Tuhan baik. Aku tau itu. Karena itu lah aku berpapasan dengan dia hari ini. Huts.. Dina belum boleh tau soal ini. Hihihi.
Dina
“Aduh.. aku udah ngomel-ngomel tapi kamu diem-diem aja, Ret.”
Aku akhiri kata-kataku. Angkot yang ku tunggu ga datang-datang juga. Padahal ini udah jam 4 sore.
Langit mendung terasa indah dipandang. Gerimis yang berjatuhan dari langit membuatku menjauhkan diri dari ramainya rintik hujan yang berlomba sampai ke bumi.
Retna. Cewek yang dulunya sedikit tomboy. Cewek yang satu-satunya bisa di ajak gila-gilaan dan ga tau malu. Cewek yang paling ga suka kalo di sebut cewek. Cewek yang aaah.. akhir-akhir ini jadi tobat. Ahaha. Kenapa aku harus pake kata tobat ?
Retna sahabatku dari kecil. Ga pernah ada rahasia diantara kita. Aku percaya dia. Dia selalu menjadi yang pertama bagiku. Satu yang kusayangkan. Walaupun dia berjilbab, dia ga terlalu disiplin soal sholat. Hm.. tapi akhir-akhir ini aku ngerasa aneh. Kenapa Retna jadi rajin ke mushollah ya ? aku punya dugaan, tapi ku simpan sajalah sampai dia membuka rahasianya.
Retna
Jam berdentang 3 kali. Ternyata hujan kali ini tidak main-main. Gerimis jadi hujan gede dengan petir yang menyambar. Macet ? otomatis.
Sudah hampir 1 jam aku berdiri disini. Kak Andi ga bisa jemput aku. Pekerjaannya menuntutnya untuk pulang malam lagi hari ini.
Dina sudah pulang dari tadi. Aku ga bermaksud menolak ajakan pulang barengnya. Tapi yaa aku ngerti, Arga yang jemput. Biarlah.. aku sudah biasa menunggu hujan.
Langit makin kelam. Suasana kampus mulai sepi. Sisa-sisa hujan perlahan melukis pelangi di sudut senja. Indah. Dan bintang-bintang pun iku bersorak menyaksikan pelangi yang tercipta.
Ku buka tas ku. Mencari –cari kamera saku kesayanganku yang selalu aku bawa.
Aku ingin mengabadikannya. Menjadikannya sesuatu yang harus aku syukuri hari ini.
Oh.. Tuhan.. indahnya ciptaanmu.
“Ret.. Ret.. Aaaaaaahhhh..”
“Crasssssh..”
Melani.. melani.. kamu bisa, Mel. Mel…..
Aku Cuma bisa terpaku menatap langit. Melihat bintang yang berusaha menyampaikan cahayanya hingga ke bumi.
Aku Cuma menahan isak tangis.
Ingatan itu lagi. Melani lagi. Kenapa doa ku agar dia selamat dari kecelakaan itu tak kau kabulkan, Tuhan ?
Kenapa harus Melani ? Melani kan hanya mencoba mengejarku untuk mengantar bukuku yang tertinggal di meja.
Kenapa Tuhan ?
Baru saja aku bertengkar dengannya. Kenapa tak kau biarkan aku berdamai dengannya. Aku..
Nugi
Hujan sudah reda. Sebentar lagi aku harus pulang. Mama pasti menunggu di rumah.
Aku paling suka pemandangan habis hujan begini. Mungkin saja aku nemuin pelangi. Mungkin saja kali ini warnanya begitu jelas di lihat.
Pelangi. Ya Pelangi. Kakak paling suka memandang pelangi. Dan kala itu, aku paling suka melihat si manis di sebelah kakak. Hehe. 1 tahun yang lalu, kak. Kini aku udah pulang ke Jakarta.
“Heii.. “ Rupanya masih ada yang belum sadar kalau hujan sudah reda.
~to be continued
No comments:
Post a Comment