"Hey.. Hati-hati kalau membicarakan orang lain. Kau pikir telingaku tak ada, hah ?"
"Aku bisa mendengar kau membicarakanku dengan jelas."
"Jadi berhentilah berbisik-bisik dibelakangku !!!"
Aku mendengus pelan. Puas sudah rasa hatiku setelah menumpahkan rasa tak enak hatiku kepada wanita penggosip ini, si penyebar hal yang tidak-tidak pada teman-teman kampusku.
"Ah.. maaf, Aria. Aku tak bermaksud.."
Wanita itu benar-benar keliatan terpaksa meminta maaf karena aku telah mendengar perkataan-perkataan sampahnya. Langsung saja ku potong cepat-cepat permintaan maaf wanita ini.
"Sudah.. sudah.. terserah kau sajalah. Aku cuma minta agar kau langsung saja bilang di depan aku, jangan cuma menyebarkan berita tak sedap tentang aku. Kau pikir aku ini apa ?"
Tanpa ba bi bu.. aku langsung melangkah pergi dari hadapan mereka semua. Mencoba tersenyum kepada mereka yang berpapasan padaku. Mencoba menganggap hari ini sama indahnya dengan hari-hariku kemarin.
"Sruuuffff.."
Aku kembali menyeruput capucino dinginku. Kembali mengingat kejadian beberapa hari lalu.
~
Hari itu, hujan deras. Aku cuma bisa termangu di warung makan depan kampus sambil memegang catatan milik Arga, temanku, yang harus ku kembalikan sebelum jam pelajaran terakhir selesai. Ini gara-gara aku tak hadir di kelas Pak Edi kemarin karena aku sedikit flu. Aku harus mempunyai salinan catatan ini karena besok akan ada quiz dari Pak Edi. Closed Book. Otomatis aku tak akan bisa berkutik bila tak mem-fotocopy catatan ini hari ini juga. Kebetulannya lagi, ini sudah jam 5 sore, kelas terakhir mulai sebentar lagi dan tukang fotocopy disana biasanya tutup setelah magrib.
"Tes.. Tes.."
Bunyi tetesan hujan kian mengacau suasana hatiku. Waktu terus berjalan. Detik berganti menit dan sebentar lagi pukul 6 tepat. Bagaimana ini ? Arga sudah menelepon dan sms aku dari tadi. Tak mungkin lah aku membawa kabur buku catatannya sementara dia juga kebakaran jenggot untuk quiz besok pagi.
"Arghh.."
Aku berteriak dalam hati. Bagaimanalah ini ? Tak ada tanda-tanda hujan bakalan berhenti. Apa ini salahku yang lebih memilih makan sore di warung daripada mem-fotocopy catatan ini dulu ?
"Tinutinutinutinutinu.."
Handphoneku berdering lagi. Rasanya ini udah hampir 10 kali Arga meneleponku. Apa mau di kata, aku sedang tak ingin mengangkat telepon saat ini. Aku hanya mencoba berkonsentrasi menghitung air hujan yang jatuh membasahi bumi. Kalaupun aku menerobosnya saat ini, tentu bukan aku saja yang mandi hujan lalu meringkuk kedinginan di ujung kelas nanti malam, buku-bukuku beserta catatan Arga pun akan mencicipi rasa asemnya air hujan kota ini.
Dan ahaa.. aku melihatnya, tiba-tiba cahaya jatuh di depanku, mengarahkan aku ke arah jam 3. Lama aku tak berkedip menatapnya. Sesosok gadis putih berlesung pipit, berambut panjang agak basah sedikit, dan dia benar-benar menarik perhatianku. Ahaha.. Bukan karena dia mempunyai senyuman menawan, kawan. Bukan juga karena dia cantik dan hm.. dia sebenernya tipe ku banget si. Hehe. tapi bukan juga karena dia telah punya pacar lalu hatiku hancur berkeping-keping. Oh ya, aku belum cerita kepadamu, kawan. Di kampus ini, aku dan Milana sempat satu fakultas, akan tetapi dia memilih pindah ke kampus lain saat semester 3 karena dia ngerasa tak cocok dengan jurusan yang dia pilih. Jadi, kau pasti bisa menebak disini banyak sekali mata-mata Milana.
Ehem.. aku belum menyelesaikan bagaimana sosok wanita lembut disana menarik perhatianku dari tetesan hujan ini. Aku tertarik pada.. dompetnya ? Hahaha.. Tidak. Sangat tidak untuk tertarik dengan dompetnya. Aku tertarik pada..
"Sreeet.."
Dia membuka payungnya. Payung yang indah berwarna pink dusty. Sepertinya gadis ini sangat feminim. Ku dekati dia pelan-pelan sambil tetap menjaga tatapan mataku. Kata orang-orang, tatapan mataku lah yang membuat para wanita tersanjung. Ahaha.. Ada-ada saja.
"Hm.. kamu sendirian ?"
Waw.. Ibu, aku berhasil mengeluarkan sepatah kata dari bibirku. Semoga dia tidak sombong. Batinku terus berdoa agar gadis ini tak menolak perkenalanku.
Waw.. Ibu, aku berhasil mengeluarkan sepatah kata dari bibirku. Semoga dia tidak sombong. Batinku terus berdoa agar gadis ini tak menolak perkenalanku.
Dia tersenyum. Manis sekali, Ibu. Rasanya jantungku makin berdegup kencap. Entah dia bisa melihat rona pipiku atau tidak. Tapi kuharap suara degupan jantungku tak terdengar olehnya karena ditutupi suara hujan. Aaaamin.
"Oh yaa.. aku sendirian kok. Tapi aku harus pergi sekarang. Maaf yaa.."
Gadis itu berkata sambil mengibaskan rambutnya. Yaa ampun, cantik cantik.. lesung pipi nya pun sungguh aaaah.. pokoknya harus ku katakan sekarang.
Aku masih menimbang-nimbang apa yang ingin aku katakan lagi. Tak mungkin aku to the point bilang kalo aku..
Saat dia hendak melangkahkan kakinya ke jalan, secara refleks aku menarik tangannya.
"Tunggu.. aku belum selesai."
Lagi-lagi aku malu, Ibu. Tapi dia tetap tersenyum dengan manisnya. Aku bahkan tak tau siapa namanya.
"A.. A.. A.. A.. ku.."
Aku terbata-bata. Haha. Dalam hati aku serasa ingin menimpuk diriku sendiri. Alangkah tak tau malunya aku ini, pakai gagap segala.
"Yaa ? Kamu kenapa, Aria ?"
Dia tau namaku ? Horee.. Horee.. Rasanya ingin terbang ke langit ke tujuh agar pelangi bisa aku bawa untuk mengakhiri hujan deras ini.
Saat aku hendak balik menatapnya, aku lihat dia sedang memegang handphone nya. Ah Ibu, Aria yang dia sebutkan tadi bukan namaku tapi seseorang yang sedang berbicara dengannya di handphone. Kesel juga aku di giniin ama gadis cantik ini.
"Oh..maaf, aku tadi angkat telepon bentar. Aku pikir kau masih lama bicaranya. Hehe."
Dia tertawa lagi dan itu membuat aku teguh akan pendirianku untuk bilang kalau..
"Hm.. aku... aku.."
"Kamu kenapa si ? Dari tadi cuma bilang aku aku terus ?"
"Hehe.. Gapapa.."
Balasku sambil mengelap keringat di dahi.
"Duh.. aku mau menyebrang ke tempat fotocopy-an nih. Bentar lagi tutup. Lagi buru-buru. Kamu kenapa ?"
"Eh..."
Mataku langsung membulat. Ku pegang erat tangan kanannya yang sedang memegang payung pink dusty. Samar-samar aku merasakan suara halusku keluar saat tangan kami bersentuhan.
"Aku boleh menumpang payungmu ? Hehe.. Maaf.."
Bersamaan dengan itu, aku langsung mengacak-ngacak rambutku sendiri dan dia tertawa dengan puas sampai pipinya merah.
"Hahaha.. Susah ya buat ngomong minta di sebrangin ke depan sana ?"
Dia bertanya sambil mengedip ke arahku.
"Hehe.."
Lagi-lagi aku salah tingkah.
"Drap.. Drap.."
Kami pun berjalan melewati genangan air kecil di depan kaki kami. Ku lirik dia sebentar, rasanya pipinya masih merah merona.
Kami berpayung berdua. Andai kata dia pacarku, mungkin ini akan jadi momen romantis dalam cerita cinta kami. Tertawa di balik payung untuk melindungi diri dari hujan sambil sesekali tangan kami bersentuhan secara tak sengaja.
Akhirnya kami sampai ke tempat fotocopy-an. Aku segera mengeluarkan buku catatan Arga. Dia segera mengeluarkan catatan lain. Kami langsung sibuk masing-masing. Dan di saat menunggu foto copy-an selesai, aku mengucapkan terima kasih padanya.
"Hahaha.. Aku Pini anak Psikologi."
Dia mengulurkan tangannya padaku. Sesaat kurasakan tangannya dingin sekali dan pipinya masih saja merah. Semuanya ku pikir karena hujan. Ya. Dingin karena hujan.
"Hm.. aku Aria anak Matematika."
Sedikit obrolan basa-basi mulai tercipta lalu terjadilah tukar-menukar nomor handphone. Hehe. Sebenarnya aku lah yang memulai minta nomor handphonenya. Bukan apa-apa, aku hanya tak mau dianggap sebagai lelaki sombong yang tak tau budi, yang langsung menghilang segera setelah menerima kebaikan dari seorang wanita.
Akhirnya fotocopy-an kita selesai sudah. Aku yang sudah telat masuk mata kuliah terakhir langsung lari-lari kecil menyebrang jalan menuju kelas. Untungnya hujan sudah berangsur reda. Kalau tidak, pastilah celanaku ini makin penuh dengan percikan air yang besar-besar. Ku lambaikan tanganku padanya. Lalu menghilang di balik hujan.
~
"Sruuuf.."
Capucinoku sudah habis. Ku lempar gelasnya ke tempat sampah. Yeay.. langsung masuk. Kemudian aku kembali terbuai dalam pemikiranku sendiri.
Kenangan yang cukup manis juga menurutku. Sayangnya aku tak bisa melanjutkan "sesuatu" dengannya karena di suatu siang aku memergokinya sedang makan siang bersama seorang lelaki yang keliatannya sangat akrab dengannya. Yaa.. Aku juga tak mengharapkan sebuah cinta atas nomor handphone yang aku berikan, kok. Ahaha.
Tapi kenyataan kadang beda dengan pandangan orang-orang di sekitar kita. Salah satunya di pandangan Maria, cewek penggosip di kampus ini. Dengan segera dia melaporkan apa yang dia lihat pada saat hujan waktu itu kepada Milana. Lalu menyebar ke seantaro kampus. Dan masalah satu lagi adalah.. ternyata Pini lagi gonjang-ganjing dengan lelaki yang ku lihat waktu itu. Yang aku tau, lelaki itu suka pada Pini tetapi Pini bersikeukeuh untuk menolak dan semua orang di kampus ini mempercayai Maria kalau aku inilah penyebab Pini menolak lelaki itu. What ? Salahku kalau aku ini cakep ? Menyebalkan. Aku ini masih suka sama Mia. Kalaupun aku dan Milana berakhir, aku merasa cinta ini memang seharusnya buat Mia. Milana ? Aaah.. aku sendiri tak mengerti apa yang aku rasakan buat Milana, pacar sah ku. Bukan Mia, cinta pertamaku yang selalu aku pendam.
Yaa.. meskipun gara-gara Pini hubunganku dengan Milana jadi dihiasi dengan keributan. Aku tetap menjaga kontak dengan Mia.
Mia. Mia. Mia. Apa aku memang harus berkonsultasi dengan Pini soal ini ? Pini kan psikologi, dia pasti mengerti setidaknya tentang cinta. Tapi, kenapa aku merasa Pini menyukaiku ya ?
Mia. Mia. Mia. Apa aku memang harus berkonsultasi dengan Pini soal ini ? Pini kan psikologi, dia pasti mengerti setidaknya tentang cinta. Tapi, kenapa aku merasa Pini menyukaiku ya ?
Ku akhiri pemikiran kacauku dengan melangkah ke kelas Pak Edi sambil membiarkan semuanya semakin berserakan di hatiku.
Ibu, anakmu ini harus bagaimana ?
Ibu, anakmu ini harus bagaimana ?
==Jakarta, Kamis 23 February 2012, 02:35 AM==
No comments:
Post a Comment