Dear Papa dan Mama,
Pa, dulu sewaktu aku kecil aku di doktrin buat jadi pintar, jadi cantik dan membanggakan papa dan mama.
Ma, dulu mama selalu bilang aku selalu bisa meramaikan rumah yang paling sepi sekalipun.
Pa, Ma, dulu papa dan mama kadang terlalu memaksakan keinginan papa dan mama kepadaku, padahal aku sendiri punya cita-cita, pa, ma. Aku sebenar-benarnya masih menyimpan sobekan gambar astronot dari majalah milik Papa. Aku masih ingin menjadi seorang astronot , pa, ma. Walaupun aku sendiri bingung bagaimana cara mencapainya.
Pa, Ma, sekarang dalam usia aku sudah bisa di bilang dewasa.
Papa dan Mama liat aku kan, aku tumbuh menjadi gadis cantik seperti yang papa dan mama harapkan.
Pa, Ma. Sewaktu lulus sekolah papa dan mama masih saja mengatur aku ini itu. Kenapa aku harus menuruti keinginan papa dan mama ? Aku tak ingin jadi dokter, pa, ma. Jadilah aku menggagalkan ujian seleksi masuk kedokteran yang papa dan mama cita-citakan.
Pa, Ma, aku pun sebenarnya ga terlalu suka dengan jurusan yang sekarang aku pilih walaupun ini juga pilihan kedua mama dan papa. Ya, aku memilih ini agar papa, mama, dan aku senang karena ini pilihan kita bertiga.
Tapi, pa, ma.. sebentar lagi aku akan menghadapi sidang terakhir. Bukan soal sidang ini yang aku bimbangkan, tapi mau jadi apa aku setelah lulus nanti ?
Pa, ma. Aku memang sudah dapat magang di perusahaan besar. Penelitian, pa, ma. Aku memang bercita-cita jadi profesor seperti yang sebentar lagi bisa aku capai.
Tapi, Pa, ma.. ada yang menggelitik hatiku. Ada yang mengatakan padaku kalau semua ini ga benar. Aku bingung, Pa, Ma. Sungguh aku mencintai pekerjaan magangku. Tapi hatiku seakan ga puas dengan apa pilihanku. Aku masih tergelitik untuk jadi astronot, pa, ma. Bahkan saat aku melihat papa dan mama atau tema-temanku sakit, aku tergelitik untuk bertanya kepada diriku sendiri, kenapa aku dulu ga meneruskan mimpi papa dan mama untuk melanjutkan pendidikan menjadi dokter ?
Pa, Ma, seragam Intan putih bersih. Dia sudah bekerja di suatu rumah sakit besar di jakarta. Aku tau pakaianku dalam penelitian juga tak kalah bagusnya, tapi Pa, ma.. rasanya aku kalah telak. Aku hanya mengikuti naluriku yang sekarang sedang lemah.
Pa, Ma. mau jadi apa aku nanti ?
Aku ga tau, pa, ma..
Aku seperti kehilangan arah, bagaikan terombang-ambing di lautan luas.
Pa, Ma.. Rasanya bukan dokter atau astronot yang aku pilih sekarang. Bukan juga seorang profesor yang hebat seperti cita-cita lainku. Aku bisa saja kuliah lagi untuk menggapai cita-citaku yang
tertinggal. Tapi, Pa, Ma.. aku tetap merasa ga punya arah.
Adakah Papa dan Mama menyadari perasaanku ?
Sepertinya ini hanya kekosongan yang harus diisi oleh kasih sayang papa dan mama.
Lalu papa dan mama apa kabar ?
Berbaikanlah, pa, ma..
Mila kangen kalian. Mila ga mau ngerasa makin kosong karena perceraian kalian.
Mila
"Tes.."
Aku ga sanggup lagi menulis. Air mataku jatuh membuyarkan sedikit tinta pada suratku.
Ku lipat kertas itu dengan meyelipkan foto kami sewaktu aku masih kecil. Berharap papa dan mama masih mengenang cinta kasih mereka.
Ku masukkan ke dalam amplop lalu ku rekatkan dengan lem di atas meja belajarku.
Papa dan mama tepisah pulau denganku. Aku masih menuntut ilmu di kota pelajar ini. Ga tau kapan bisa pulang lagi.
Malam makin larut. Cicak berderap-derap di dinding mengejar nyamuk dan bermain-main dengan pasangannya.
Ah alangkah indahnya dulu. Ku matikan lampu, lalu ku tutup wajahku dengan selimut tebal. Menangis sepuasnya sampai aku lelah dan menutup mata. Menanti esok saat mentari mengajakku bercanda dan tertawa. Menanti pelangi yang selalu ada saat hujan telah tiada.
==Jakarta, Kamis 23 February 2012 03:24 AM==
No comments:
Post a Comment