Dia duduk di sudut
Sesaat aku merasa terganggu dengan anak itu. Seorang anak laki-laki dengan wajah kucel namun dengan senyum yang tetap indah masuk ke dalam rumah makan. Aku duduk tepat di sebelah meja bapak itu. Awalnya aku berpikir dia akan minta-minta seperti kebanyakan anak jalanan. Anak-anak yang ga pernah mau berusaha namun mengandalkan ukuran tangan orang. Aku langsung membuang muka. Namun aku merasa penasaran, kenapa anak itu ga juga menghampiriku ? Ku toleh ke samping. Ku lihat dia menyemir sepatu bapak itu dengan tekun. Tanpa ada keluhan. Tanpa menampilkan rasa letih. Ku tatap dia sejenak, ku lihat ada peluh di dahinya. Kulihat dia kecapaian setelah keliling menawarkan jasanya .Tetapi, ada satu keajaiban yang ku lihat darinya. Senyum tipis itu tetap menghiasi bibirnya. Aku malu. Aku merasa kalah jauh dari anak itu. Aku yang masih bisa memenuhi keinginanku. Aku yang seharusnya merasa lebih bahagia darinya. Aku yang masih punya orang tua. Aku yang masih bisa minta ini itu. Aku yang masih bisa bermain. Aku yang masih bisa merasakan kehangatan saat malam datang. Aku yang hidup di istana yang dia harapkan. Dan aku aku yang lain, yang penuh dengan berjuta keberuntungan namun ga pernah bisa membagikan senyuman seperti dia.
Otakku berputar. Memikirkan betapa mudahnya aku merasa jatuh padahal aku hanya terpeleset dan hanya menyentuh lubang kecil. Sedangkan dia, dia yang sudah jatuh ke lubang itu terus-menerus berusaha naik walau orang lain ga pernah memandangnya.
Kesadaranku kembali. Ternyata melihat keatas itu terlalu melelahkan. Ga hanya bintang yang bersinar atau langit biru disertai burung yang berterbangan yang bisa kita lihat. Bahkan sarang laba-laba ataupun sinar matahari yang menyilaukan siap membakar kita.
Menunduklah sedikit, ka. Melihat keatas hanya membuat lehermu pegel.
Coba rasakan, apa pernah kau merasa lehermu pegel saat kau menunduk ?
No comments:
Post a Comment