Saturday, December 28, 2013

Terkungkung

Apakah kita merasa hidup ini membosankan? Menyebalkan? Di rumah banyak sekali larangan. Dilarang ini, dilarang itu. Di sekolah/kampus juga banyak sekali yang harus dikerjakan, ini itu. Di kantor apalagi, itu-itu saja, disuruh2, masalah muncul tidak ada habisnya. Apakah kita merasa hidup ini terlalu banyak peraturan? Mau itu nggak boleh, mau ini nggak boleh. Kenapa sih? Kenapa orang nggak boleh bebas, mau ngapain kek, mau apalah kek. Terserah masing2. Bukannya dikit-dikit teeett, awas loh. Dikit-dikit, hei, jangan loh. 

Apakah kita merasa terkungkung dalam hidup ini? Apakah demikian? Saya tidak mahir memberikan solusi hal ini. Karena toh, sy juga sering bosan, sebal, terbatas, terkungkung oleh banyak hal. Maka, saat perasaan itu hinggap di hati, membuat beban pikiran, mengganduli langkah kaki, sy memutuskan untuk memikirkan banyak hal menakjubkan tentang dunia ini. Salah-satunya, yg mungkin bermanfaat bagi kalian, jika lagi sebal, saya suka memperhatikan kebun teh. 

Pernah pergi ke kebun teh? Melihat hamparan pohon teh? Duhai, tidakkah kita semua tahu, seumur hidupnya, pohon teh itu dibonsai. Tidak bisa tumbuh semau dia. Tidak bisa tinggi semau yg dia inginkan. Pohon teh itu terus menerus, secara sistematis, konsisten, dibonsai oleh manusia. Dipetik daun atasnya, tumbuh dikit, dipetik lagi daun atasnya, tumbuh dikit, dipetik lagi. Maka lihatlah nasibnya yg malang, pohonnya "kekar berotot" karena proses pembonsaian jangka panjang. Bukan cuma bulan, melainkan bertahun2 lamanya hingga akhir hayatnya. Tidakkah pohon2 ini kepengin lebih tinggi? Agar bisa menghirup udara pegunungan lebih lega, agar bisa menatap lembah2 luas berkabut lebih nyaman? Sayangnya, ribuan jumlahnya, nasibnya terus dibonsai, agar menghasilkan sesuatu yang amat spesial. Terhidang di meja2 dari meja bermain menyeduh teh anak2 hingga meja ratu Inggris. Diminum mulai dari orang2 pinggiran, hingga bangsawan. 

Itulah pengorbanan pohon teh. Pohon yang wujudnya di benak kita semua hanya sepinggang saja. Padahal aslinya, kalian pernah melihat tinggi pohon teh asli? Yang tumbuh tanpa di bonsai? Kalian akan takjub melihatnya. Tapi sudahlah, itu tidak penting. Boleh jadi pohon teh bahagia dengan jalan hidupnya. 

Tere Liye

*Rumit nan complicated

Kenapa kita tidak bahagia? 

Apakah kita sama seperti seorang pedagang tua, yang punya dua toko. Satu toko khusus menjual es balok, satu toko lagi khusus menjual baju hangat? Ketika musim penghujan yang dingin, toko es baloknya sepi sekali, tapi toko baju hangatnya ramai; maka sedihlah pedagang ini memikirkan toko es baloknya. Pun ketika musim kemarau yang panas, toko es baloknya ramai, tapi toko baju hangatnya sepi sekali; dan maka sedihlah pedagang ini memikirkan toko baju hangatnya. Dengan demikian, sepanjang tahun, muram durja lah pedagang tua ini. Apakah kita tidak bahagia seperti pedagang tua ini? Yang seolah memiliki sumber tidak bahagia abadi--apapun musimnya? Hingga lupa, bahwa dia sejatinya punya sumber kebahagiaan abadi--apapun pula musimnya. Hanya soal apakah dia mau memeluk erat kabar baiknya (melihat toko2nya yang ramai), atau memeluk erat kabar buruknya. 

Kenapa kita tidak bahagia? 

Apakah kita sama seperti orang2 yang ketika siang hari pengin tidur, tapi harus kerja. Siang hari, pengin istirahat dari pagi hingga petang, tapi banyak pekerjaan. Dan sebaliknya, ketika malam hari tiba, yang seharusnya tidur lelap, istirahat, tapi malah memutuskan begadang, terjaga terus hanya untuk melakukan hal sia-sia? Bersantai-santai. Lantas esoknya mengeluh kurang tidur, dsbgnya. Seolah keinginan diri tidak kompak dengan realitas dunia? Atau hei, jangan2 diri sendiri yang membuat repot urusan? Karena orang2 memang seharusnya tidur di malam hari, beraktivitas di siang hari--kecuali yang harus bekerja malam. Kenapa kita tidak bahagia? Apakah kita sama seperti orang2 yang menginginkan sekali pekerjaan orang lain; tapi lupa, kalau pekerjaan yang dia punya sekarang sebenarnya banyak sekali yang mendambakannya? Menginginkan sekali sekolah atau kuliah di tempat tertentu, tapi dia lupa, kalau berjuta orang rela memberikan apapun demi bisa sekolah/kuliah di tempatnya sekarang? Seperti anak kecil, yang ingin mainan temannya, padahal dia sudah punya banyak sekali mainan--malah punya yang persis seperti mainan temannya itu. 

Kenapa kita tidak bahagia? 

Apakah kita termasuk orang2 yang ingin sekali berjodoh, memiliki seseorang (yang tidak tergapai), tapi lupa di sekitar kita, belasan orang lain menatap kita penuh harap, menunggu kita meliriknya. Hanya untuk kemudian kita bilang, cinta itu tidak adil, orang yang kita inginkan egois, kita tidak mendapatkannya, lupa, belasan orang lain juga bisa berkata sama, gara2 kita. Kenapa kita tidak bahagia? Apakah kita memang punya sumber tidak bahagia sepanjang hari? Sepanjang tahun? Karena kalaupun memang punya sumbernya --seperti dizalimi terus menerus; atau ditipu, dikhianati sepanjang umur-- bukankah secara serempak, simultan dari hal yang sama tersebut, kita juga punya sumber untuk bahagia? Jangan-jangan, kenapa kita tidak bahagia, simply karena kita sendiri yang memang tidak mau. Ketika kita bilang rumit, complicated, justeru kita sendirilah yang membuatnya begitu. Ketika kita bilang susah, menyebalkan, kita sendirilah yang menjadikannya demikian. Dan kunci jawabannya sederhana pula: tinggal bergeser satu langkah, gunakan sudut pandang yang berbeda sedikit saja, jangan-jangan kita telah menemukan sumber kebahagiaan tiada ternilai. 

Kenapa kita tidak bahagia? 

Maka ingatlah sebuah nasehat klasik orang tua. Sungguh, kita bisa bernyanyi kapan saja, di mana saja, meskipun kita tidak punya lagu-nya. Kita bisa menari apa saja, meskipun kita tidak punya tarian dan tidak tahu bagaimana menari. Hanya soal, hei, kita mau menyanyi dan menari tidak? Sekali kita berhasil mengurai sumpeknya hati, menemukan sumber kebahagiaan tersebut, peluk erat, jangan lepaskan lagi. Agar kita senantiasa selalu pandai bersyukur. 

Demikian. 

Tere-Liye